Selasa, 15 Maret 2016

Other Half

Surga di Batas cakrawala

Adalah waktu yang menjadi hadiah terbesar bagi sebagian orang. Karena detik yang telah berjalan maju, tak akan mampu mengulang masa lalu. Setiap orang memperlakukan waktu dengan cara yang berbeda. Ada yang telalu sibuk menghitungnya, ada yang hanya duduk termangu menunggu kapan detiknya berhenti, meski ada pula yang tak peduli.

Namun, gadis bermata cokelat dengan kedua lesung pipit nya itu pernah menjalani hidupuntuk memberi pesan bagaimana seharusnya waktu diperlakukan dengan menghargai tiap tawa, tangis, dan sentuhan yang manusia sebut dengan kenangan. Sebelum mereka pergi untuk selama-lamanya. Pertemuan tak pernah lepas dari perpisahan, tak peduli seberapa siapkah diri untuk berjalan sendirian.

Dinda pernah berpikir, hidup yang penuh warna itu hanya ada dalam mimpi. Dan, akan rela tak pernah terbangun karenanya. Ia tak pernah melihat warna lain selain hitam, putih, dan abu-abu. Bahkan, jika mungkin suatu hari nanti kehidupan adalah gelap pekat, ia akan memilih buta. Bagaimana bisa melihat, sedang kau tak pernah mengenali warna?

Praangggg!!!!  Bunyi sesuatu terjatuh dengan keras, lalu pecah membuyarkan lamunan Dinda.
Sayup-sayup terdengar suara rintihsn pelan dari lantai bawah. Rambut panjang sebahu Dinda diselipkan dibelakang telinga. Ia memfokuskan pendengarannya ke arah suara benda jatuh dan rintihan yang ia dengar barusan.

"Eh, jangan - jangan moris,, batin Dinda panik, mencurigai kucingnya menjatuhkan vas bunga seperti hari - hari sebelumnya. Kali ini, mungkin ia terluka. Tanpa berpikir panjang lagi, Dinda langsung melompat dari kasur, lalu berlari menuju tangga. Saat akan memijakkan kaki di beberapa anak tangga terakhir, Dinda menangkap pemandangan yang membuatnya terkejut.

Sosok tegap yang memiliki rahang tegas dan mata tajam sedikit sipit yang selama ini mampu memberikan kesan dingin dan mendominasi, terlihat begitu rapuh saat didapati terduduk dengan tangan yang menutupi matanya. Sesaat, ia tertegun melihat ayahnya begitu menyedihkan, ekspresi yang tak pernah ia saksikan sebelumnya. Tubuh laki-laki yang selama ini membesarkannya sendirian itu bergetar hebat, sayup-sayup terdengar suara tangis seperti ditahan. Pajangan meja kristal berbentuk perahu layar sudah pecah hancur berkeping-keping tak berbentuk di atas lantai. Serpihannya tercecer kesana kemari.

"Yah, ada apa? apakah tadi terjatuh?" tanya nya sambil perlahan mendekati ayahnya yang masih terduduk tepat disamping telepon yang ia genggam di tangan. Jemarinya kemudian mencoba menyentuh wajah.

Ayahnya masih tertutupi oleh lengannya yang besar dan terlihat kuat. Namun seketika, ia mendongakkan kepalanya.

"Dinda, kita harus secepatnya pulang ke Bogor. kakakmu.." kata-kata selanjutnya yang sudah terletak di ujung lidah seolah - olah termakan kembali oleh derai tangis yang menggema.

saat itu pulalah Dinda tersadar, hari ini adalah salah satu momen terpedih yang akan mengubah hidupnya. Peristiwa yang memberi luka mendalam yang mungkin takkan pernah sembuh seperti sedia kala.

                                                                      *********

kerumunan orang dengan pakaina hitam mulai meningggalkan rumah dengan banyak bunga ucapan duka cita yang bertengger dengan tegak di pekarangan. Tumbuh-tumbuhan lain yang telah lama hidup pada tanah basah yang baru disiram oleh rintikan hujan, seolah-olah enggan mekar. Mungkin bunga-bunga itu juga ikut bersedih atas kepergian seseorang yang sangat mencintai mereka. Seorang perempuan paruh baya melemparkan pandangannya pada tanah basah dengan beberapa tangkai bunga lili yang mekar dengan malu diatasnya. Ia dibawa kembali oleh ingatan masa lalu yang mungkin akan menjadi teman tidurnya di hari-hari kedepan.

"Bunda, tanah yang sudah anin gali jangan ditutup dulu. yang dibagian itu belum dikasih pupuk, Bun," ucap gadis kecil dengan kulit putihnya yang kini ditutupi oleh kotoran tanah. Matanya yang agak sipit memperlihatkan bola matanya yang cokelat dan berbinar saat wanita cantik yang ia panggil Bunda, perlahan mendekat dengan membawa bungkusan hitam. ia sudah bisa menebak bungkusan itu pasti berisi bibit bunga lavendel.

"kamu tuh, ya. kalau mau aduk-aduk tanah, pakai sarung tangan dong, sayang." ucap bunda lembut sambil meliihat gadis kecilnya yang masih sibuk menepuk-nepuk gemburan tanah. Namun, ia hanya membalas tatapan Bunda dengan senyum simpul sambil berkata, "karena dalam tanah kecil ini kan ada cacing dan hewan lain, Bunda. Anin tidak takut kok, Bun. Anin kan mau berteman dengan siapa saja. Siapa tahu nanti cacingnya mengajak kenalan dengan memegang tangann Anin." Gelak tawa keduanya pun pecah. sepoi angin sore hari itu menambah kesejukan yang dirasakan. hamparan rumput hijau dengan bunga mawar, lili, asoka, hingga kamboja bermekaran, seolah-olah mengundang kawanan kupu-kupu bersayap cantik untuk datang. Semuanya terlihat istimewa, begitu bahagia.

Kenangan tersebut akhirnya menjadi salah satu bukti bagaimana seorang perempuan yangia lahirkan begitu memiliki hati yang tulus dan dapat menggetarkan bumi untuk ikut menangis pada hari pengantaran terakhirnya di Dunia. Perlahan, bulir air bening menetes dengan deras dari sudut mata perempuan berumurlima puluhan akhir yang tengah memegang tangan kirinya. ada rasa hangat sekaligus sakit yang mejalar saat pikirannya membuka kembali memori lama. Ia menutup mata dan menolehkan kepalanya ke arah lain seolah dengan begitu. suasana hatinya menjadi lebih baik.

Mungkin benar kata orang, bahwa manusia berhati mulia akan cepat pulang kepada Tuhan. Tuhan lebih merindukan kehadiran mereka di Surga dan menyelamatkan mereka dari kerasnya Dunia. tetap saja, dunia semakin keras saat mereka tiada. meski begitu, jiwa dan raga yang masih hidup harus terus berjalan kedepan. Bagaimana pun, hidup adalah cerita tentang ditinggalkan dan meninggalkan.

"Bun, maaf, Dinda baru bisa datang sekarang."
Ibu Mega, sang Bunda, menatap sosok yang kini berhadapan dengannya. Ia menyentuh lembut wajah mungil yang telah lama tak ia tatap secara langsung, yang begitu ia rindukan. Wajah yang begitu mirip dengan wajah gadis yang baru saja dimakamkan.
"Anin pasti merindukan kamu juga," bisik Bunda. membuat gadis itu menghambur kepelukan sang Bunda, lalu menagis sejadi-jadinya. Air mata gadis itu membasahi pundak Ibu Mega yang dilapisi baju beledu hitam. Bahu gadis itu berguncang - guncang, membuat Ibu Mega terus mendekapnya erat.

"Sudah begitu lama, Nak. Bahkan, rasanya kau pergi terlalu jauh hingga lupa untuk pulang. Ssshhh.. tidak apa-apa, sayang, tidak apa-apa."

Ia tak dapat mengucapkan apapun. keduanya telah jatuh dalam pelukan masing-masing dengan tangis sendu yang mungkin terdengar hingga surga, yang telah menjadi rumah baru bagi orang yang sangat mereka Cintai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar