Jumat, 12 Januari 2018

Masihkah kau mencintaiku?

Masihkah kau mencintaiku?

"Aku ingin kamu mengerti, bahwa jalan tuhan begitu mengagumkan.

Ia mematahkan hatimu demi menyelamatkanmu
dari orang yang bisa membuat hatimu mati."

Cerita bermula dari perpisahan kedua orangtuanya. sama halnya masalah perceraian lain, mereka membawa pergi masing-masing buah hatinya. entah dapat dibilang beruntung atau tidak, dinda ikut bersama pak wijaya, ayahnya, yang saat ini dikenal sebagai salah satu pengusaha tersukses di Indonesia. memiliki berbagai perusahaan besar dan anak-anak perusahaan yang bergerak dibidang jasa dan perdagangan, yang semakin melebarkan sayap. belum lama ini, ayahnya telah meresmikan juga pusat perbelanjaan yang didirikan di Yogyakarta. Sementara itu, bisnis ekspedisi kapal yang berpusat di Surabaya semakin berjaya.

Ia mengingat jelas saat mereka pergi ke Surabaya dan meninggalkan semua kenangan, dengan harapannakan ada torehan peristiwa-peristiwa menyenangkan di tempat yang baru, lebih dari apa yang ia punya dulu. masih berputar-putar dalam ingatannya ketika harus meninggalkan rumah masa kecilnya jemarinya saling terkait erat dengan jemari Aninda, perempuan yang telah bersama-sama dengannya sejak dalam kandungan dilepas paksa oleh ayah dan bundanya. Diikuti oleh suara klakson sedan hitam yang telah lama menunggu di depan rumah. ia mengingat jelas bagaimana ia menangis keras di dalam pesawat.

"Yah, dinda masih bisa ketemu sama anin dan bunda?" tanyanya disela isak tangis, setelah ayahnya berhasil meredakan tangisnya dengan memberi sebuah boneka panda yang sepertinya sudah ia siapkan.

"Tentu saja. dinda pasti masih bisa bertemu dengan bunda dan anin," janji ayahnya sambil menatap iba.
Namun, dinda kecil belum mengerti bahwa terkadang keinginan tak sejalan dengan apa yang ia terima . Angan-angan akan dapat bertemu kembali dengan bagian dari hidupnya seolah sirna dimakan kesibukan dan jarak  hingga menjadi sebatas harapan. terkadang, seseorang dapat melupakan sebuah janji begitu saja, sementara seorang lain mengingatnya dengan jelas dan selalu berharap menjadi kenyataan. Setidaknya, itulah yang ia rasakan. selama bertahun-tahun hidup terpisah dengan ibu dan saudari kembarnya, ia tak pernah melihat mereka lagi. tidak hingga tiga tahun lalu . pada suatu minggu yang mendung, disebuah toko bunga yang pada akhirnya menjadi tempat terahir ia dan annin bertemu.

                                                              *********

Dibelahan kota lain, aninda yang tinggal bersama sang bunda, hidup dalam kesederhanaan, terlahir 12 menit lebih dulu, menjadikannya kakak dengan aninda sebagai adiknya. siapa pun bertemu dengan mereka berdua, tanpa mengenal terlebih dulu pun, mungkin akan tahu bahwa anin adalah sosok kakak yang ideal, yang ditunjukkan dari sikapnya yang dewasa. tak pernah sekali pun ia mengeluh saat dunia mencoba memberikannya luka.

saat para tetangga sibuk bercerita tentang perceraian orang tuanya dengan suara keras hingga terdengar ke beberapa rumah lainnya. Anin yang baru saja pulang dari les tambahan menjelang ujian, menghentikan langkah kakinya tepat di depan mereka. tidak untuk marah atau mengumpat. hanya melemparkan senyum dan memberi salam dengan sedikit membungkukkan badan, lalu beranjak meninggalkan tiga orang ibu-ibu berdaster tanpa suara. meskipun tak berkata apa-apa, hatinya bagai teriris pisau.

Bgaimanapun, keluarga adalah kekuatan  yang seklaigus menjadi titik kelemahan baginya. kehancuran keluarga seakan menjadi luka yang tak akan pernah kering. Namun, Aninda tak ingin mengumbar kesedihan dan kerapuhannya. apapun yang terjadi, ia sudah berjanji kepada bundanya untuk tetap tersenyum. meskipun tak bisa menyembuhkan luka menganga di hatinya, senyum dapat meringankan langkahnya.

Anin mencintai hobinya bercocok tanam. sesuatu yang menjadi kesibukannya tiap sore setelah bekerja paruh waktu di Yayasan Harapan Baru, sebuah sekolah kecil yang ia bangun bersama beberapa teman dekatnya. Baginya, bunga adalah sesuatu yang menggambarkan kehidupan. yang akan mekar, indah, harum, dan mengundang kekaguman hanya jika dirawat dengan penuh cinta, dan tentunya , menuntut kesabaan dan ketulusan.

sementara itu. Adinda dibesarkan oleh ayahnya dalam dunia bisnis yang terus bergerak cepat.

Begitulah mereka berdua dibesarkan dalam dua dunia yang berbeda. berahun-tahun berlalu, janji ayahnya agar mereka dapat terus bertemu seolah-olah terngiang kembali dalam ingatan. ada bentuk penyesalan yang mendalam. mungkin, duluia hanyalah seorang anak kecil yang tak tahu apa - apa tentang masalah pelik orang dewasa. Namun, saat ia beranjak remaja dan dapat menentukan pilihan, ia tidak menjadi dekat dengan masa lalunya adalah jalan yang ia pilih. entah apa yang menjadi tolak ukurnya saat itu. yang pasti, di detik ia memutar memori lama tentang tangis masa kecilnya saat ia merengek untuk bertemu dengan aninda, di detik itu pulalah ia semakin membenci dirinya sendiri.


                                               *************

"Mengapa hars berakhir seperti ini? karena jika kita tidak tinggal berpisah, tentunya kau masih ada disampingku, Aninda. atau setidaknya, banyak hal yang bisa kita lakukan bersama."
ucap adinda sambil menengadahkan kepalanya ke langit berawan kelabu, menyesali kepergian anin untuk selamanya. seolah suasana hatinya terbawa kala itu.

Ia berdiri di depan balkon yang menghadap ke halaman belakang sambil memegang sebuah pigura berisikan foto dua anak kecil berbaju merah polkadot dan rambut yang dikuncir dua serupa. dalam foto itu, mereka duduk sejajar dan tertawa hingga memperlihatkan gigi ompong di bagian depannya.

kembali ia menangis, memeluk bingkai itu erat erat dan membiarkan tangisnya semakin berderai. entah mengapa, air mata tetap deras menetes dipipinya meskipun ia tahu ini tak akan mengubah keadaan. ia sadar, sebagaimana kerasnya pun ia berharap, jiwa yang sudah meninggalkan raga, tak akan pernah bisa kembali.

                                                  *******

mengitari rumah masa kecilnya mebuat dinda merasa sedang membuka kotak berisi kenangan. langkah kakinya berhenti didepan pintu kamar bertuliskan "life is A story, makes yours the best seller."

Dinda memejamkan mata, menarik napas dalam. jika kenangan memiliki aroma, aroma itulah yang tercium oleh Dinda, aroma bunga di halaman yang dulu ia tanam bersama bunda dan kakaknya. ia seolah tak ingin membuka mata, tak rela berpisah dari kenangan itu. pikirannya membawa dinda semakin jauh. dari lorong tempatnya berdiri sekarang, sayup-sayup ia mendengar suara teriakan tawa dua balita yang saling berlari kecil. gaun mungil berenda yang mereka kenakan tersibak kesana kemari mengikuti irama langkah kaki. di belakangnya bunda sibuk ikut berlari kecil sambil memegang mangkuk berisi nasi tim yang ia campur dengan sumsum sapi, sedikit lada bubuk, dan parutan keju parmesan. menu kesukaan dua gadis kembarnya. sembari tertawa, ia berhasil menangkap "tawanannya" di ujung ruang tamu yang pintunya tengah terkunci.

"Nah, sudah tidak bisa kemana-mana kan, sekarang?" ucapnya lembut.
dua gadis kecil tadi hanya menggerutu sambil pasrah membuka mulutnya dengan seirama, "AAA".

Dinda mengusap air matanya, kenangan manis terasa begitu pahit jika diingat lagi. terlebih saat kau menyadari, sosok dalam kenangan, itu tidak akan pernah kembali. Ia menghapus air  mata yang kemudian mengering.

Aku tak boleh terlihat lemah seperti ini. Setidaknya, tidak di sini. Tidak di depan Ayah dan Bunda, Batinnya

Sekian lama mereka hidup terpisah, sekarang Anin pun harus pergi. secepat ini. selamanya. ini pasti menjadi pukulan yang sangat keras untuk Bunda.

Entah apa yang menjadi alasan keluarganya jika masih bisa ia sebut keluarga setelah apa yang ia rasakan untuk merahasiakan penyakit kanker yang telah sekian tahun Anin derita. Apapun alasan di balik diamnya mereka, kini saudari kembarnya harus pergi meninggalkannya lebih dulu, tanpa ucapan selamat tinggal, tanpa sepatah kata pun.

Tangannya berat untuk membuka pintu di depannya. Ia masih menatap tulisan yang bergantung di pintu kamar dengan tatapan kosong. Perlahan, ia turunkan gagang pintu dengan mendorong ya ke dalam. meskipun ia tahu, akan ada berjuta rasa kehilangan yang siap menyerang begitu pintu terbuka. Ia yakin, dirinya akan kembali menangis tersedu di dalam kamar itu nanti. namun, ia ingin membaui aroma kenangan dari kakanya. Sekali lagi. lagi. Dan lagi. Anin, apakah ceritamu hanya selesai sampai disini?

"Kreek..." bunyi pintu kamar itu terdengar, seperti pintu tua. Angin dingin bercampur wangi bunga tercium dari ruangan itu. Ah, pantas saja, ternyata bunda lupa menutup jendela, gumamnya dalam hati.

Dinda melihat sekeliling. rak-rak tinggi berisi ratusan hingga mungkin ribuan buku , tersusun rapi disana. tidak ada yang istimewa, kecuali sebuah kursi kayu jati disamping jendela yang diatasnya bertengger pot putih berisi bunga lili kecil.

Ia yakin ini ruang baca Anin. Seharusnya aku bisa sedikit mendapat kebiasaan yang sama yang diturunkan oleh Ayah, membaca, gumamnya sambil tersenyum simpul. Buku yang Anin koleksi lumayan banyak. Terlebih, ada beberapa yang terlihat sudah cukup tua. dalam rak yang berdiri dihadapannya, ia mengambil satu buku secara acak. buku tua berwarna hijau gelap yang ia pegang, sudah berdebu dan menyisakan kotoran halus di tangannya. Dinda dengan cepat mengembalikannya le rak. Lalu ia menggosok-gosokkan tangannya sambil berdecak kesal.

Bruukk! terdengar suara benda jatuh dari sisi kirinya. ia menoleh dan mendapati daun jendela masuk ke arah dalam dan mengenai ujung salah satu lemari.

Ia menutup jendela dan kembali menggosok-gosok tangannya, yang kali ini terasa bengitu dingin karena udara luar. saat mengembalikkan badan, kakinya meneyentuh sesuatu, sebuah buku.
dinda mengambil lembaran kertas tebal yang dijilid dengan sampul berwarna putih telur berbahan kertas jenis concord yang memiliki serat-serat kasar di permukaanya, dan berhalaman cukup tebal dengan warna putih. Ia memballik-balikkan, memastikan tidak ada yang rusak. tangan kanannya menyentuh ujung belakang garis buku itu. ada sebuah kait kecil disana, seperti nya buku itu adalah dua bagian yang terpisah. satunya entah kemana. dinda tak memikirkannya. secara acak, ia membuka satu persatu halaman, terlihat tanggal dan tulisan berupa tulisan tangan.

ini mungkin buku harian Aninda, batinnya dinda tiba-tiba ragu. apakah ia berhak membuka buku ini? namun, rasa penasaran lebih menguasainya. ia mulai menyusuri halaman - halaman buku itu dengan cepat.

mata dinda yang sebelumnya sibuk mebiasakan diri untuk membaca tulisan yang seolah bergerak karena gerakan cepat tangannya, tiba-tiba terpaku . tangannya kini memegang sudut tengah buku putih tadi. perlahan, ada genangan air dalam cekungan matanya.


8 November 2011


Hari ini, aku bertemu kembali dengan Dira. teman satu kelompok tim Karya Ilmiah Remaja, klub favoritku di SMA. Dia bercerita tentang banyak hal yang memberikanku banyak pelajaran. tentang cinta yang tak boleh buta, tentang setia yang terlanggar juga, tentang kelapangan hati.

Dira dan Ardan tumbuh dalam lingkungan yang sama. Rumah mereka hanya berbatas rumah tetangga yang mengapit rumah keduanya. Menjalani aktivitas yang sama sejak kecil, membuat mereka tahu kebiasaan satu sama lain. Dira, dengan rambut ikal panjang hitamnya, sangat benci jika ada anak laki-laki lain mencoba memegang dan memelintir rambutnya. dan, ketika itulah ardan datang sebagai kesatria yang mengusir anak-anak pegangggu itu.

mereka bersahabat sejak kecil, bahkan mungkin saat kedaunya baru bisa belajar bicara. seiring berjalannya waktu, perasaan lebih dari sekedar teman, tumbuh perlahan. tidak heran, banyak mata memandang, dua anak manusia ini dengan berbagai arti. apakah mereka sekadar teman dekat, sepupuan, atau bahkan saudara kandung. 

masa putih abu-abu mereka juga tidak dapat dikatakan datar tanpa makna. mengingat tiga tahun pertama dengan status sebagai lebih dari sekadar sahabat memiliki begitu banyak percikan-percikan peristiwa kecil yang tiap hari beraneka macam kejadiannya. 

Dira menceritakan kepadaku kali pertama ardan menyatakan cinta di hari kelulusan mereka di bangku SMP. Masih dengan memegang sebuah botol pilox yang ia pakai untuk mencoret-coret baju teman-teman sekelasnya, ardan menarik tangan dira ke halaman belakang sekokah yang selama ini menjadi tempat ia menyendiri saat istirahat makan siang, ketika dira tengah sibuk bermain dengan teman-teman perempuannya.

Ardan tak berbicara sama sekali. tangan kirinya perlahan memegangi tangan mungil dira. jantungnya berdebar lebih kuat seolah-olah akan lepas dari badannya.

"Aku sayang kamu."

"Aku juga. kalau nggak sayang, nggak mungkin aku betah jadi sahabat kamu selama bertahun-tahun."

"Enggak. ini beda, dira. perasaanku semakin lama semakin lebih dari sekadar sahabat. mungkin ini terdengar gila, tapi belakangan ini, aku sering bermimpi menjadi sosok manusia super melindungimu." perkataanya berhenti sesaat ketika ia melihat Dira perlahan menundukkan wajah.

"Kamu tahu, apa yang membuat dua orang sahabat akan berpisah?"

Ardan hanya terdiam. ia seakan tak ingin mendengar kata-kata lain dari dira selain "ya, aku juga sayang kamu."

"Perasaan saling membutuhkan yang berujung menjadi cinta." dira kembali memandang ardan dengan sinar matanya yang tajam.

"Lalu?"

"Ketika hubungan tak sejalan dengan harapan, pada akhirnya mereka tak akan bisa lagi bersahabat seperti semula. aku nggak mau kita menjadi seperti itu, Ar. aku menyayangimu lebih dari keinginan egoku. bukan berarti aku tidak mau."

"Setidaknya, biarkan aku mencoba. aku tahu kita masih muda, tapi aku mau sama -sama kamu sampai kapanpun. aku janji, bagaimanapun akhir perjalanan kita nanti, kita akan baik-baik saja."
Ardan menatap Dira dengan penuh kesungguhan.

                                    ____________________________________

Tahun demi tahun, keduanya menjalani masa sekolah bersama-sama. di suatu hari bisa saja mereka terlihat akur, di hari yang lain terlihat tidak bicara pada satu sama lain. Namun, begitulah  sejak kecil mereka menjalani hari.

Ardan berhasil masuk di salah satu perguruan tinggi begengsi di jakarta untuk mengejar mimpinya menjadi dokter. dan Dira, memilih tinggal dan menuntut ilmu di Bogor sebagai salah satu bukti cintanya kepada orang tua karena hanya ia satu - satunya milik orang tuanya. Dira menikmati bagaimana jarak yang ditakutkan oleh orang-orang menjadi tidak sebegitu menakutkan  karena Ardan membuktikan perkataannya saat hari kepergiannya ke Jakarta, untuk pulang setiap bulan, bahkan terkadang dira mendapati ardan sudah berada di depan rumah dengan wajahnya yang sangat lelah selepas berkuliah, tetapi masih menyempatkan diri untuk menemui sang punjangganya. meski dira sendiri sadar, bahwa pertemuan dalam frekuensi tinggi bukan penentu keberhasilan sebuah hubungan. 

Dira hanya bisa terdiam saat ardan berkata bahwa ia tidak bisa lagi sesering ini untuk pulang. karena tahun depan ia sudah harus mempersiapkan diri untuk berbagai macam ujian penentuan. ardan memalingkan muka saat mendapati wajah dira yang memucat dan kumpulan air bening di sudut matanya. mereka berdua berdiri tanpa sepatah kata. kebiasaan untuk menjalani hari bersama yang mereka jalani sejak kecil harus berubah saat keduanya memutuskan untuk tinggal di kota yang berbeda, dan jarak semakin terdengar sangat jauh saat ardan mengatakan hal yang selama ini ia takutkan.

bukanlah berapa lama waktu yang harus ditempuh atau jauhnya jarak yang membentang diantara keduanya yang menjadi kekhawatiran Dira, melainkan bagaimana sadarnya bahwa ia seseorang bisa begitu saja membawa kebahagiaan nya pergi disaat ia mulai melangkah menjauh dari pandangan. dira sadar, selama ini ia telah meletakkan sepenuh hatinya, pada sosok yang ia cintai sejak masa putih abu-abu. sahabat masa kecilnya kini tumuh menjadi sosok dewasa yang siap berperang dengan rintangan dalam menggapai mimpinya. Dira tersadar, ia telah berdoa dan akan selalu berdoa jika dialah salah satu yang menjadi impian ardan. dan, jarak serta bebatuan yang kelakkan muncul di tengahnyna, tak akan mengubah apapun yang sudah terucap indah lisan doa dira.

Ardan membenarkan ucapannya. sudah lebih dari enam bulan mereka tidak bertemu, hanya tatapan mata dari dalam layar monitor laptop yang menjadi penikmat malam keduanya. dira kerap mengeluh dalam diam saat melihat pasangan lain yang sedang duduk manis di depannya tertawa lepas dan dapat bercerita apa saja tanpa ada halangan. Namun, dira sadar diri, bukan itu yang saat ini ia inginkan melainkan masa depan dengan ratusan minggu dan ribuan hari kedepan kelak yang dapat mereka habiskan bersama.

___________________

Dira menahan rindu dengan mengirimkan doa yang di balut dengan harapan ardan dan ia mendapat masa depan yang mereka cita-citakan. seiring berjalannya waktu, dira telah berteman dengan sunyi malam tanpa ada lagi suara dengkuran ardan dari seberang sana yang ia dengar dari speaker ponselnya. ia sendiri juga mengisi hari dengan kesibukan baru sebagai salah satu pengajar paruh waktu di playgroup kompleks perumahannya. cara lain untk mengobati rasa rindunya kepada ardan adalah dengan melihat anak-anak didiknya bermain sambil berlarian, mengingat ia pada masa kecilnya dulu bersama ardan.

kutukan atau berkat untuk mengenal seseorang yang kau cinta dengan begitu dalam membuatmu mengerti dan membenci pada saat yang sama. karena disaat mereka pergi dari pandangan, kenangan dan gelak tawanya tetap menghantui dalam bayangan. sesederhana risiko  mencintai seseorang yang begitu besar. dan dira menyadari sejak awal, ialah yyang telah meletakkan kebahagiaanya kepada ardan.

ardan mengatakan bahwa ia semakin sibuk dengan jadwal yang membunuhnya. namun, dira selalu dibahagiakan oleh kabar bahwa ardan kerap mendapatkan nilai yang hampir sempurna untuk berbagai macam subject kelas yang ia ikuti. hal itu membuat perjuangan dira menahan egonya terbayarkan. minggu ketiga ini pulalah ardan semakin sulit untuk dihubugi. saat di telpon, ia terdengar begitu terburu-buru dan sibuk hingga langsung menutup percakapan.

Malam harinya, ia mencoba kembali menelpon ardan. tidak satupun nomor yang ia tahu aktif. dira semakin risau. berbagai bayangan buruk datang menghantui. apakah ardan jatuh sakit, apakah ia sedang dapat banyak masalah di kampus atau rumah sakit, atau apakah ia sedang bersama perempuan lain. namun dira selalu cepat-cepat menyingkirkan dugaannya yang terakhir.

dalam doanya kali itu, ia meminta petunjuk dari Tuhan. bersamaan dengan doa yang tidak pernah tertinggal, bahwa masa depan terbaik untuk mereka  berdua. dira menangis dalam doa. baru kali ini ia merasa lelah untuk selalu melangkah. kali ini, ia kalah. egonya memuncak untuk kembali melihat sosok hangat yang berubah sedingin salju belakangan itu.

__________________________________

Dan, disanalah Dira berada. di depan rumah pagar putih yang berdiri dengan sebuah bel mungil di salah satu tiangnya. Dira bercerita, seorang perempuan tua berdaster membuka pintu dan berjalan agak sedikit tergopoh-gopoh. ia dengan hangat menyapa dira yang tidak kalah ramah. dira bertanya apakah benar rumah tersebut adalah rumah ardan dan perempuan yang tadi mengangguk pelan. namun, ia menjawab bahwa hanya ada ibu di rumah saat dira menanyakan keberadaan ardan.

dari cerita yang dira tuturkan, ia tengah asyik melihat sekeliling taman saat seorang peremuan muda melihatnya dari depan pintu utama. "kamu dira?"

Dira menoleh. darahnya seolah - olah mengalir lebih deras. jantungnya berdetak lebih keras. seorang perempuan muda di dalam rumah kekasihnya, menyebut namanya, dengan memegang perutnya yang tengah besar. ia terpaku beberapa saat disana. begitu juga perempuan yang saat itu ekspresi wajahnya tidak dapat digambarkan. ada rasa marah, malu dan sesal disana.

aku bisa membayangkan, saat itu segala perasaan berkecamuk di benaknya. dira yang kukenal begitu tenang pun akan cemas seketika melihat perempuan itu.

perempuan itu tiba-tiba memeluk dira yang masih memaku. kata dira, tak satupun kata keluar dari mulutnya selain "maafkan aku" dengan nada penyesalan mendalam yang sesekali terdengar di sela isaknya.

perempuan itu menangis sangat keras. dira perlahan mulai menyusun puzzle yang terlihat sangat berantakan. pandangannya dikaburkan oleh kumpulan air di dalam matanya. ia menarik diri dari perempuan itu. ia menatapnya dari atas hingga bawah tanpa ada kata yang ia ucapkannya. rambut, kulit, tinggi, semua menyerupai dirinya. hanya saja, si perempuan itu tengah hamil dan menangis di saat dia masih berkutat dengan kebingungan.

ia juga menyadari ada foto ardan yang tengah duduk bersanding dengan perempuan yang sekali lagi menghambur ke pelukannya saat ini. tangisnya pecah. ratusan pertanyaan yanng menari indah tanpa belas kasihan terjwab dengan satu kata yang keluar dari bibir kekasih yang selama ini ia doakan untuk hidup bahagia bersamanya kelak.

Bahkan, sekian lama waktu yang dihabiskan untuk tumbuuh bersama bukanlah jaminan sepasang anak manusia dapat menjalin cinta yang kuat. dira tidak dapat menahan perasaan amarah dan kecewa yang memuncak di otak. tangisnya tumpah kembali ke masa saat ia dan ardan menghabiskan waktu seharian untuk membahas masa depan.

____________________________________________

Tuhan tahu yang terbaik untuk umat-nya. meski terkadang, apa yang tuhan berikan begitu merobek hati. terkadang pula, kita membenci karena tuhan tidak mengabulkan doa dengan jalan yang indah. padahal, ia menyimpan hadiah besar untuk orang-orang diterpa cobaan.

Aku ingin kamu mengerti, bahwa jalan tuhan begitu mengagumkan. ia mematahkan hatimu demi menyelamatkan mu dari orang yang bisa membuat hatimu mati.

Dinda menarik nafas panjang. ia sejenak melemparkan pandangannya ke depan. matanya memejam. ia menikamati angin lembut yang mengecup wajahnya pelan. perlahan, ia menutup buku yang menuturkan kisah yang masih tak ia percayai adalah nyata, lalu berjalan ke arah balkon. "Dira, dimana pun kamu saat ini, semoga saat ini kamu sudah bahagia."

*****************


Tidak ada komentar:

Posting Komentar